Senin, 06 Maret 2017

KARTINI, AKU BUKAN PEREMPUAN BATU


//(1)PADA MASA REFORMASI INI/ Putri bangkit kembali/Termangu  memandangi Jepara hari ini/Bangunan gedung warna-warni/Mobil mewah mengejar kontainer berlari/Sepeda motor baris seperti biri-biri/Bos-bos mebel hidup mewah bak di negeri Kiwari/Tukang ngampelas kerja sepenuh hari/Sekedar  tuk membeli nasi berlauk teri/Para ekspatriat berdansa-dansi menari/Perempuan-perempuan sundal menggelelinjang . ah, ah, ahai...nikmatnya kawin kontrak, kawin siri!//(2)PADA MASA REFORMASI INI/Putri bangkit kembali/Mengukir kenangan di Pantai Bandengan yang asri/Bermain ayunan, tebak-tebakkan, berlari/Berenang bermandi mentari/Menikmati ikan bakar kemangi/Tapi Putri merutuk sedih melihat  pemuda-pemudi bercumbu di irmbun rumpun pandan berduri/Sudahkah mereka lupa bahwa zinah adalah dosa terperih?//(3)PADA MASA REFORMASI INI/Putri bangkit kembali/Mengelilingi Jepara berganti hari/Di Belakang Gunung pemahat sejati sekedar jadi kuli/Mencari sesuap nasi demi anak istri/Sebagian malah asik malah nonton dangdutan/Kota Jepara jumpa lagi dengan Romansa/Bergoyang...Sing Penting Joget...Sampai Pagi...Iwak Peyek, Bukak Sithik Jos, Ngamen, Oplosan/Mabuk-mabukkan, fly, berteman lelaki-perempuan bergincu dalam tarian lupa diri/Ayo, ke Pungkruk, garuk-garuk/Gurih-gurih, nyoi/Koprat-kapret/Wekweksor/Dan anak belasan tahun  maish juga trek-trekkan menyabung nyawa sekedar mencari identitas diri/Di masjid tinggal orang-orang tua menebar amal seraya menghitung hari/Karena Jepara semakin menua, langit buram disemprot melamin/Laut tercemari limbah/Pantai dimangsa abrasi/Pasir, bukit, hutan, pulau, digerogoti tikus berdasi/Tapi di semenanjung Muria, masih saja orang berdebat demi pangkat/Mencari kebenaran sendiri demi proyek dan ambisi/Sampai hari ini keinginan belum berakhir menjadikan Jepara Kota Nuklir//(4)PADA MASA REFORMASI INI/ Putri bangkit kembali/Menyusuri jalanan malam yang ramai tapi sepi/Menengok pendopo, melintasi alun-alun, bertafakur di Masjid Agung Baitul Makmur/terpatri nurani di perempatan Jalan Kartini/Bintang jatuh membias pada perempuan berkain-kebaya membawa obor batu!/Berkawan anak kecil membawa buku dari batu!/ Putri menangis tergugu, memeluk sang bayu/Tersedu meratap pilu//AKU BUKAN PEREMPUAN BATU. BIARKAN AKU MENJADI LILIN YANG MENERANGI DUNIA. WALAU TUBUHKU TERBAKAR API, DAN CAHAYA SEMAKIN MEREDUP. BAHKAN DI TANAH KELAHIRANKU SENDIRI.// Kota Ukir, 7 Maret 2010-9 April 2014

Puisi 'Kartini, Aku Bukan Perempuan Batu' ditulis oleh Kartika Catur Pelita, dibacakan oleh Nailis Setyowati di acara Bedah Buku di Pameran Buku Jepara, 2016.

KARTINI, Aku Perempuan yang Pernah Menangis Darah

//Aku Perempuan yang pernah menangis darah/Ketika masih ingin sekolah tapi tradisi marah//Padahal Kartono dan Kartini sama-sama berdarah merah//Aku perempuan yang pernah menangis darah/Sepanjang hari harus di rumah/ Tapi aku tak pantang menyerah/ Kuajak Rukmini dan Kardinah membuka sekolah/Kuajari perempuan jelata baca-tulis, pengetahuan, dan sejarah//Aku perempuan yang pernah menangis darah/ Tapi aku bukan perempuan lemah/Kuisi hari dengan belajar Bahasa Belanda, membaca, merangkai kata indah/ Membatik, melukis, mendesain botekan, ukiran Jepara nan mewah// Aku perempuan yang pernah menangis darah/ Harus memilih antara sekolah dan menikah/ Biarkan aku berbakti pada Ayah-Bunda tuk selaksa berkah.//Aku perempuan yang pernah menangis darah Ragaku mati muda, tapi semangat selalu membuncah/ Laksana api abadi tetap nyala biar langit basah/Tolong, tolong, catat namaku dalam pekat sejarah//Kota Ukir,

Kartika Catur Pelita, 14 April 2011-10 April 2014